OPINI - Kalau menang, semua pasti siap. Karena ini yang diharapkan setiap kontestan pilpres. Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo beserta pasangan masing-masing ingin menang. Menang adalah ekspektasi bagi semua pihak yang ikut kontestasi. Kontestasi apapun, termasuk pilpres. Ketiga paslon di pilpres 2024 bekerja keras, menggunakan strategi politik terbaik, mengerahkan semua kemampuan, tentu tujuannya untuk meraih kemenangan. Tidak ada yang ingin kalah. Maju untuk menang. Bukan untuk kalah.
Tapi, satu hal yang harus terus ditanamkan dalam diri masing-masing. Bahwa dalam kintestasi, termasuk kontestasi di pilpres 2024, hanya akan ada satu pemenangnya. Dua kontestan lainnya akan kalah. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, semuanya punya peluang yang sama. Karena itu, ketiganya tentu siap menang, tapi juga harus siap kalah. Ini bagian dari sikap yang dituntut dari seseorang yang demokratik. Dewasa dalam berpolitik.
Baca juga:
Tony Rosyid: Dilema Oligarki Dukung Ganjar
|
Cerita mendagri tentang adanya seorang capres yang dibunuh dan warning kapolri tentang pilpres gagal yang dapat mengancam demografi Indonesia patut diwaspadai. Boleh jadi sudah ada indikatornya. Bahwa ada pihak-pihak yang di mata mendagri dan kaporni punya rencana menggagalkan pilpres. Apa alasannya? Ya, tidak siap kalah.
Kalau kita baca bersama, ada paslon yang ngotot menang satu putaran. Baginya, ini harga mati. Kenapa? Pertama, kalau dua putaran, kalkulasinya paslon ini akan kalah. Ini versi mereka. Yakin kalah. Kedua, kalau kalah, maka banyak orang yang bergabung di kelompok ini merasa akan menghadapi risiko amat besar. Tidak saja risiko politik dan bisnis, tapi terutama risiko hukum. Bagi mereka, ini ancaman besar untuk nasib dan masa depan mereka.
Itulah kira-kira apa yang mereka bayangkan. Padahal, ini bayangan yang tidak sepenuhnya benar. Kesalahan memang selalu membuat ancaman bagi diri sendiri. Melahirkan bayangan yang mengerikan. Seringkali apa yang dibayangkan lebih besar dari kenyataan yang akan dihadapi. Ketakutan yang berlebihan seringkali mendorong untuk menciptakan tindakan antisipasi yang berlebihan pula. Ini justru bisa menjadi kontra-produktif dan malah menambah kesalahan baru. Dengan begitu, akan makin terus berkembang rasa takut.
Seperti pepatah mengatakan, sekali orang berbohong, maka akan terjebak pada kebohongan berikutnya. Begitu juga adanya rasa takut karena telah berbuat salah. Ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan kesalahan berikutnya sebagai bentuk antisipasi.
Karena rasa takut ini, telah mendorong capres-cawapres melakukan segala cara. Aturan ditabrak, etika dilanggar, ketidakpatutan dihiraukan. Strategi preman dijadikan pilihan. Sporadis. Intimidasi sana sini. Logistik yang dibagikan menjadi tidak wajar, bahkan membabi buta. Moral dan mental rakyat, terutama para agamawan (ulama, kiai, ustaz, pendeta, dll), dirusak dengan hambur-hamburkan uang kepada mereka. Dari sini, kualitas agamawan juga bisa diukur.
Menang atau hancur-hancuran, begitu pikiran ubnormal yang sedang meracuni mereka. Satu putaran atau rusuh. Ini tentu jauh dari semangat kontestasi. Ini bukan cara-cara seorang negarawan. Jiwa patriotik dan spirit demokrasi lenyap. Yang tersisa adalah nafsu berkuasa. Fokusnya adalah bagaimana bisa menang. Apapun caranya, pokoknya harus menang satu putaran. Gak bisa satu putaran, chaos. Gawat !
Ini tentu sangat berbahaya. Berbahaya sekali. Kembali ke warning Mendagri dan Kapolri, semua harus waspada. Rakyat wajib waspada. TNI dan Polri sudah saatnya kembali ke tupoksinya: menyelamatkan NKRI. Tidak boleh ada lagi yang terseret ke arena politik praktis. Dukung mendukung paslon. Terlalu besar yang dipertaruhkan. yaitu nasib bangsa dan masa depan negara.
TNI dan Polri justru harus menjaga pemilu jujur dan adil. Pemilu Jurdil adalah kunci Indonesia damai. Pemilu jurdil adalah penyelamat Indonesia masa depan. Pemilu jurdil adalah cara efektif untuk mempersemput ruang keterbelahan. Ini terjadi jika TNI dan Polri netral.
Baca juga:
Tony Rosyid: Presiden Harus Lugas!
|
Kepada tiga kontestan harus memahami bahwa pemilu itu pesta rakyat. Biarkan rakyat yang berdaulat untuk menentukan pilihannya. Beri kesempan mereka merayakan pesta demokrasi ini, tanpa money politics dan intimidasi. Siapapun yang menang, itu pilihan rakyat. Itu kehendak rakyat. Pihak yang kalah mesti legowo. Karena dalam kontestasi, tidak semua bisa menang. Satu yang menang, dua yang kalah. Siapapun yang kalah, harus legowo menerimanya.
Yang terpenting: jaga pemilu jujur dan adil. Semua mesti ikut ambil bagian untuk menjaga pemilu jurdil. Mahasiswa, akademisi, para ilmuan, NGO, agamawan dan para tokoh masyarakat harus ambil bagian dalam memastikan pemilu jurdil. Terutama KPU dan Bawaslu adalah pihak yang patut diawasi. Pastikan KPU dan Bawaslu netral. Tidak menjadi bagian dari kontestan.
Kaltim, 28 Desember 2023
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa